Kamis, 02 Oktober 2014

metodologi penelitian


BAB I
   PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang.
Dalam dunia pendidikan paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perilakuan peneliti terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian.
Menurut catatan Ari Fakhri istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu yang menghasilkan mode of knowing yang efektif.
Kemudian defenisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
Dengan mengetahui paradisma penelitian kita dapat mengembil secara tepat hal yang kita teliti, ketepatan itulah yang akan menjadikan penelitian yang kita ambil menuju hasil yang maksimal.
  Penelitian diterjemahkan dari kata “Research” (Inggris) yaitu re (kembali) dan  search (mencari) atau mencari kembali yang kemudian para ahli menerjemahkannya  sebagai riset. Hillway (1956) mengatakan bahwa penelitian tidak lain dari sesuatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut
Dari berbagai ahli yang mencoba membuat definisi penelitian yang tepat, pada dasarnya penelitian adalah suatu proses penyelidikan atau pencarian sesuatu (fakta dan prinsip-prinsip) yang dilakukan secara sistematis, hati-hati, kritis (critical thinking) dan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dari pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian merupakan suatu metode untuk menemukan kebenaran, sehingga penelitian merupakan metode berpikir secara kritis. Jadi disini penelitian tersebut harus didasarkan pada kebenaran-kebenaran bukan didasarkan pada kebohongan. Hasil penelitian sangat ditentukan pada keseriusan kita dalam melakukan penelitian tersebut.
Para ahli menyebutkan bahwa tidak mungkin memisahkan ilmu dengan penelitian dan diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang sama. Almack (1930) mengatakan bahwa penelitian dan ilmu merupakan hasil dan proses. Penelitian merupakan proses sedangkan hasilnya adalah ilmu. Whitney (1960) menegaskan bahwa ilmu dan penelitian merupakan proses yang berlangsung secara bersama-sama. Artinya ilmu dan penelitian adalah proses yang sama sedangkan hasil dari proses tersebut adalah kebenaran (truth). Kebenaran yang dimaksudkan adalah pengetahuan yang benar yang kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siapa saja yang berkeinginan untuk mengujinya.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Paradisma Penelitian ?              
1.2.2. Bagaimana Kebenaran Memuat Ilmu Pengetahuan?
           
1.3 Tujuan
            1.3.1. Untuk mengetahui bagaimana Paradisma Penelitian
1.3.2  Untuk mengetahui  Bagaimana Kebenaran Memuat Ilmu   Pengetahuan
                                           
1.4 Manfaat
1.4.1. Bagi mahasiswa sekaligus sebagai calon guru, supaya bisa mengerti dengan baik  bagaimana cara melakukan penelitian yang benar sesuai dengan ketentuan  supaya penelitian tersebut bisa membawa hasil yang maksimal    
1.4.2. Bagi penulis hendaknya dapat lebih memahami tentang proses penelitian supaya kedepannya kita bisa mengerti tentang proses penelitian tersebut
   BAB II
                   PEMBAHASAN

2.1  PARADISMA PENELITIAN DAN KEBENARAN
1.2.1. Paradisma (paradigma)  penelitian
            Menurut catatan Ari Fakhri istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu yang menghasilkan mode of knowing yang efektif.
Kemudian defenisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
Dalam buku yang berjudul “Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian Psikologi” menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan tentang asumsi, konsep, atau proposisi yang secara logis dipakai peneliti.
paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitia.
 Secara umum, paradigma penelitian diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif (Indiantoro & Supomo, 1999: 12-13). Masing-masing paradigma atau pendekatan ini mempunyai kelebihan dan juga kelemahan, sehingga untuk menentukan pendekatan atau paradigma yang akan digunakan dalam melakukan penelitian tergantung pada beberapa hal di antaranya :
1.      jika ingin melakukan suatu penelitian yang lebih rinci yang menekankan pada aspek detail yang kritis dan menggunakan cara studi kasus, maka pendekatan yang sebaiknya dipakai adalah paradigma kualitatif. Jika penelitian yang dilakukan untuk mendapat kesimpulan umum dan hasil penelitian didasarkan pada pengujian secara empiris, maka sebaiknya digunakan paradigma kuantitatif, dan
2.       Jika penelitian ingin menjawab pertanyaan yang penerapannya luas dengan obyek penelitian yang banyak, maka paradigma kuantitaif yang lebih tepat, dan jika penelitian ingin menjawab pertanyaan yang mendalam dan detail khusus untuk satu obyek penelitian saja, maka pendekatan naturalis lebih baik digunakan. Hasil penelitian akan memberi kontribusi yang lebih besar jika peneliti dapat menggabungkan kedua paradigma atau pendekatan tersebut.
Penggabungan paradigma tersebut dikenal istilah triangulation. Penggabungan kedua pendekatan ini diharapkan dapat memberi nilai tambah atau sinergi tersendiri karena pada hakikatnya kedua paradigma mempunyai keunggulan-keunggulan.
Sedangkan dalam tulisan Sambas Ali M., paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori, yang dikonstruksi sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
Mengacu pada definisi paradigma tersebut, terungkap bahwa paradigma ilmu itu amat beragam, hal ini didasarkan pada pandangan dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing ilmuwan berbeda-beda. Dimana, masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan tersebut, kemudian berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut, baik menyangkut tentang hakikat apa yang harus dipelajari, obyek yang diamati, atau metode yang digunakan.
Perbedaan paradigma yang dianut para ilmuan ternyata tidak hanya berakibat pada perbedaan skema konseptual penelitian, melainkan juga pada pendekatan yang melandasi semua proses dan kegiatan penelitian.
Dalam praktek penelitian ilmiah, setidaknya terdapat dua pendekatan untuk menjawab permasalahan penelitian yang timbul sebagai suatu fenomena yang harus dicari jawabannya, yaitu: penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Pendekatan  kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1926).
Pendekatan kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma tradisional (traditional), eksperimental (experimental), atau empiris (empiricist). Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason).
Sementara i penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosialatau budaya. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Pendekatan kualitatif lahir dari akar filsafat aliran fenomenologi hingga terbentuk paradigma post positivisme.
Pendekatan ini memandang bahwa realitas sosial yang tampak sebagai suatu fenomena dianggap sesuatu yang ganda (jamak). Artinya realitas yang tampak memiliki makna ganda, yang menyebabkan terjadinya realitas tadi. McMillan dan Schumacher (2001:396) menyebut realitas sosial dalam penelitian kualitatif ini sebagai: “…reality as multilayer, interactive, and a shared social experience interpreted by indviduals”.
Dengan demikian dalam penelitian kualitatif, realitas sosial yang terjadi atau tampak, jawabannya tidak cukup dicari sampai apa yang menyebabkan realitas tadi, tetapi dicari sampai kepada makna dibalik terjadinya realitas sosial yang tampak. Oleh karena itu, untuk dapat memperoleh makna dari realitas sosial yang terjadi, pada tahap pengumpulan data perlu dilakukan secara tatap muka langsung dengan individu atau kelompok yang dipilih sebagai responden atau informan yang dianggap mengetahui atau pahami tentang entitas tertentu seperti: kejadian, orang, proses, atau objek, berdasarkan cara pandang, persepsi, dan sistem keyakinan yang mereka miliki.
Paradigma ibarat sebuah jendela tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya. Sebagian orang menyatakan paradigma (paradigm) sebagai intelektual komitmen, yaitu suatu citra fundamental dari pokok permasalahan dari suatu ilmu (Salim, 2006). Namun secara umum menurut Salim (2006) paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun sesorang dalam bertindak atau keyakinan dasar yang menuntun sesorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ihalauw (1985) paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan, dan kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh (Salim, 2006).
Paradigma adalah basis kepercayaan utama dari sistem berpikir; basis dari ontologi, epistemologi, dan metodologi.  Dalam pandangan filosof, paradigma merupakan pandangan awal yang membedakan, memperjelas dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Hal ini membawa konsekuensi praktis terhadap prilaku, cara berpikir, intepretasi dan kebijakan dalam pemilihan masalah. Paradigma memberi representasi dasar yang sederhana dari informasi pandangan yang kompleks sehingga orang dapat memilih untuk bersikap atau mengambil keputusan (Salim, 2001)
Menurut Maleong (2004), ada berbagai macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientifik paradigm (paradigma ilmiah)  dan naturalistic paradigm (paradigma almiah). Paradigma imiah bersumber dari pandangan positivisme (lazimnya disebut sebagai paradigma kuantitatif) sedangkan pandangan alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis  (lazimnya disebut sebagai paradigma kualitatif).        
                      Gambar 3. Paradigma dalan Penelitian Ilmiah

Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian dapat dikelompokan menjadi paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.  Dari segi peristilahan, para ahli nampak menggunakan istilah atau penamaan yang berbeda-beda meskipun mengacu pada hal yang sama. Untuk itu guna menghindari kekaburan dalam memahami kedua pendekatan ini, berikut akan dikemukakan penamaan yang dipakai para ahli dalam penyebutan kedua istilah tersebut lihat  tabel berikut
Dalam beberapa referensi tentang paradigma penelitian, kita dapat menjumpai beberapa nama yang dipergunakan para ahli tentang metodologi  penelitian kualitatif yaitu: grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan fokus dalam melihat permasalahan serta latar belakang disiplin ilmunya. Istilah grounded research lebih berkembang  di lingkungan sosiologi dengan tokohnya Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas California yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial  Banda Aceh pada tahun 1970-an),  ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan antropologi dan ditunjang  antara lain oleh Bogdan, interaksi simbolik lebih berpengaruh di pantai barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer, Paradigma naturalistik dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya memperoleh pendidikan dalam fisika, matematika, dan  penelitian kuantitatif.
Riwayat singkat kedua paradigma tersebut adalah sebagai berikut (Bogdan & Taylor (1975); Crewell (1994); Maleong (2004)
v  Paradigma Kuantitatif (Positivisme) berakar pada pandangan teoritis Auguste Comte dan Emile Durkheim pada abad ke 19 dan awal abad ke 20. Para Positivisme mencari fakta dan penyebab femomena sosial dan kurang mempertimbangkan keadaan subjektifitas individu. Durkhiem menyarakan kepada ahli ilmu pengetahuan sosial untuk mempertimbangkan fakta sosial atau fenomena sosial sebagai sesuatu yang memberikan pengaruh dari luar atau memaksa pengaruh tertentu terhadap perilaku manusia. Paradigma kuantitatif dinyatakan sebagai paradigma tradisional, positivisme, eksperimental, atau empiris.
v   Paradigma Kualitatif (alamiah/fenomenologis) bersumber dari pandangan Max Weber yang diteruskan oleh Irwin Deutcher. Pendekatan ini berawal dari tindakan balasan terhadap tradisi positivisme. Pendekatan fenomenologis berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak orang itu sendiri. Bagi mereka yang penting ialah kenyataan yang terjadi sebagai yang dibayangkan atau dipikirkan oleh orang itu sendiri. Paradigma kualitatif menyatakan pendekatan konstruktif atau naturalistis (Lincoln & Guba), pendekatan interpretatif (J. Smith) atau sudut pandang postpositivist (postmodern)
Masing-masing paradigma tersebut mempunyai seperangkat asumsi yang berbeda (Firestone, 1987; Guba & Linclon, 1988; McCrakeb, 1988). Hal ini penting untuk diketahui karena akan memberikan arah untuk merancang (mendesain) penelitian.
Kedua paradigma pendekatan penelitian tersebut nampak sekali mempunyai asumsi/aksioma dasar filosofis dan paradigma  berbeda yang menurut Lincoln & Guba (1985) perbedaan tersebut terletak dalam asumsi/aksioma tentang kenyataan, hubungan pencari tahu dengan tahu (yang diketahui), generalisasi, kausalitas, dan masalah nilai.  Menurut Lincoln & Guba  pandangan positivisme dari sudut ontologi meyakini bahwa realitas merupakan suatu yang tunggal dan dapat dipecah-pecah  untuk dipelajari/dipahami secara bebas, obyek yang diteliti bisa dieliminasikan dari obyek-obyek lainnya, sedangkan dalam pandangan fenomenologi kenyataan itu merupakan suatu yang utuh, oleh karena itu obyek harus dilihat dalam suatu konteks natural tidak dalam bentuk yang terfragmentasi. 
Dari sudut epistemologi, positivisme mensyaratkan adanya dualisme antara subyek peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh hasil yang obyektif.  Sementara itu dalam pandangan Fenomenologis subyek dan obyek tidak dapat dipisahkan dan aktif bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut aksiologi, positivisme mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai agar dicapai obyektivitas konsep dan hukum sehingga tingkat keberlakuannya bebas tempat dan waktu. Sedangkan dalam pandangan fenomenologi penelitian itu terikat oleh nilai sehinggan hasil suatu penelitian harus dilihat sesuai konteks.
Masalah paradigma kuantitatif dan kualitatif hingga dewasa ini masih terjadi perdebatan, meskipun  banyak ahli pada bidang tertentu memandang hal ini bukan masalah yang bersifat dikotomis melainkan suatu kontinum. Sekelompok ahli memandang bahwa paradigma (metode) manapun yang akan digunakan sebenarnya sangat tergantung pada masalahnya. Bila masalah itu memerlukan jawaban kualitatif maka paradigma yang harus dipilih adalah kualitatif. Sementara jika masalah itu bersifat kuantitatif maka paradigma yang dipilih adalah harus kuantitatif. Sementara sekelompok ahli  mengatakan bahwa kedua paradigma tersebut saling menunjang, dengan suatu harapan bahwa dengan cara begitulah penelitian akan dapat menyajikan hasil yang mantap dan jitu. 
Menurut Creswell, untuk menggunakan kedua paradigma secara baik dan akurat dibutuhkan lebih banyak halaman yang dapat ditelorir editor jurnal. Hal ini dapat menyebabkan disertasi melewati batas normal ukuran dan skala. Menggunakan kedua paradigma dalam satu penelitian akan mahal, memakan waktu dan panjang. Oleh karena itu peneliti harus memilih paradigma kualitatif atau kuantitatif dalam suatu penelitian (paradigma tunggal). Memilih salah satu paradigma penelitian (paradigma tunggal) bukan berarti paradigma  lainnya dianggap tidak baik. Tidak ada satu paradigma yang sanggup mengungguli paradigma lainnya, mengingat pilihan paradigma merupakan cara pandang seseorang (peneliti) terhadap suatu realitas yang tergantung pada keadaan tertentu. Misalnya dalam bidang ilmu eksak, biasanya paradigma kuantitatif (postivisme) yang banyak digunakan, sedangkan dibidang sosial, paradigma kualitatif (fenomenologis) yang mendapat tempat yang mapan. Masalahnya adalah bagaimana peneliti harus memilih salah satu paradigma dalam penelitiaN
1.3.2  Kebenaran Memuat Ilmu Pengetahuan
Dalam pembahasan mengenai ilmu pengetahuan bahwa secara sederhana bahwa segala sesuatu yang diketahui oleh manusia melaui suatu proses baik sistematis atau tidak, menggunakan metode yang disepakati atau tidak maka dapat dikelompokkan sebagai sebuah pengetahuan biasa dan pengetahuan Ilmiah, yang terkait dengan objek dari suatu pengetahuan. Jadi pengetahuan dan kebenaran adalah merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dipisahkan.
Pada hakikatnya kebenaran itu terdiri dari dua macam, yaitu kebenaran ilmiah dan kebenaran non ilmiah. Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Lalu, kebenaran non ilmiah adalah kebalikan dari kebenaran ilmiah, yang mana pada kebenaran non ilmiah ini lebih mengacu pada kebenaran karena kebetulan, kebenaran karena akal sehat, kebenaran agama dan wahyu, kebenaran intuitif, kebenaran karena trial dan error, kebenaran spekulasi, dan kebenaran karena kewibawaan. Lalu, ilmu pengetahuan adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang-orang yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur.
Berkaitan dengan pembahasan tentang pengetahuan dan kebenaran yang dihubungkan dengan hakikat ilmu pengetahuan, terdapat dua teori yang digunakan untuk mengetahuinya yaitu:
1.      Teori Realisme, teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Menurut teori Realisme yang dimaksudkan dengan pengetahuan adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Gambaran sebenarnya inilah yang memuat kebenaran. Artinya bahwa jika pandangan terhadap alam itu tidak sesuai dengan realitas yang ada (terdapat penyimpangan) atau tidak benar, maka apapun yang dihasilkannya bukan sebuah kebenaran dan bukan sebuah pengetahuan. Dengan demikian ukuran kebenaran pengetahuan itu didasarkan pada kesesuaian realitas yang diperolehnya dengan informasi yang disampaikannya atau disimpulkan. Jika informasi tersebut memuat kebenaran, maka kebenaran yang disampiakan itulah yang disebut pengetahuan yang benar, dan jika informasi yang disampaikannya salah maka itulah yang dikategorikan pengetahuan salah.
2.      Teori Idealisme, teori ini menerangkan bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental/ psikologis yang bersifat subjektif. Sifat dari pandangan idealisme ini lebih menitik beratkan pada pengumpulan data yang bersifat subjektif yang dirumuskan dalam bentuk kesimpulan. Ukuran kebenaran yang digunakan di dasarkan pada subjektifitas seseorang. Sehingga sesuatu obyek dianggap sebagai Pengetahuan tak lebih dari sebuah gambaran subjektif tentang sesuatu yang ada dalam alam yang di dasarkan pada pendapat atau penglihatan orang yang mengalami dan mengetahuinya. Berarti bahwa pengetahuan dan kebenaran dalam konteks ini sangat bersifat subjektif di mana premis pokok yang dijadikan landasan adalah jiwa dimana kedudukan jiwa menjadi sangat utama untuk merumuskan kesimpulan atau kebenaran dari alam semesta.
Berdasarkan analisis terhadap pengetahuan dan kebenaran ini, maka rumusan pengetahuan hubungan yang mencakup seluruh hal yang diketahui manusia. Pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan. Bagaimana rumusan tujuan pengetahuan tersebut akan dibahas pada tujuan manusia mempunyai pengetahuan.

        
         BAB III
       PENUTUP

3.1 SIMPULAN
Paradigma ibarat sebuah jendela tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya. Sebagian orang menyatakan paradigma sebagai intelektual komitmen, yaitu suatu citra fundamental dari pokok permasalahan dari suatu ilmu. Dengan mengetahui pradigma secara baik kita dapat melakukan penelitian secra maksimal
Pada hakikatnya kebenaran itu terdiri dari dua macam, yaitu kebenaran ilmiah dan kebenaran non ilmiah. Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Lalu, kebenaran non ilmiah adalah kebalikan dari kebenaran ilmiah, yang mana pada kebenaran non ilmiah ini lebih mengacu pada kebenaran karena kebetulan, kebenaran karena akal sehat, kebenaran agama dan wahyu, kebenaran intuitif, kebenaran karena trial dan error, kebenaran spekulasi, dan kebenaran karena kewibawaan. Lalu, ilmu pengetahuan adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang-orang yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur.
Pada dasaranya penelitian tersebut haruslah didasari pada kebenaran bukan pada kebohongan. Penelitian didasarkan pada kebenaran akan menciptakan hasil penelitian yang maksimal seuai dengan yang kita harapkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar