BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Dalam
dunia pendidikan paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara
pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perilakuan peneliti
terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana
peneliti memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan
untuk menjawab masalah penelitian.
Menurut catatan Ari Fakhri istilah
paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962) dan kemudian
dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara
mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of
inquiry tertentu yang menghasilkan mode of knowing yang efektif.
Kemudian defenisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
Kemudian defenisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
Dengan mengetahui paradisma
penelitian kita dapat mengembil secara tepat hal yang kita teliti, ketepatan
itulah yang akan menjadikan penelitian yang kita ambil menuju hasil yang
maksimal.
Penelitian
diterjemahkan dari kata “Research” (Inggris) yaitu re (kembali)
dan search (mencari) atau mencari kembali yang kemudian
para ahli menerjemahkannya sebagai riset. Hillway (1956) mengatakan bahwa
penelitian tidak lain dari sesuatu metode studi yang dilakukan seseorang
melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah,
sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut
Dari
berbagai ahli yang mencoba membuat definisi penelitian yang tepat, pada
dasarnya penelitian adalah suatu proses penyelidikan atau pencarian sesuatu
(fakta dan prinsip-prinsip) yang dilakukan secara sistematis, hati-hati, kritis
(critical thinking) dan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dari
pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian merupakan suatu
metode untuk menemukan kebenaran, sehingga penelitian merupakan metode berpikir
secara kritis. Jadi disini penelitian tersebut harus didasarkan pada
kebenaran-kebenaran bukan didasarkan pada kebohongan. Hasil penelitian sangat
ditentukan pada keseriusan kita dalam melakukan penelitian tersebut.
Para
ahli menyebutkan bahwa tidak mungkin memisahkan ilmu dengan penelitian dan
diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang sama. Almack (1930) mengatakan
bahwa penelitian dan ilmu merupakan hasil dan proses. Penelitian merupakan
proses sedangkan hasilnya adalah ilmu. Whitney (1960) menegaskan bahwa ilmu dan
penelitian merupakan proses yang berlangsung secara bersama-sama. Artinya ilmu
dan penelitian adalah proses yang sama sedangkan hasil dari proses tersebut
adalah kebenaran (truth). Kebenaran yang dimaksudkan adalah pengetahuan yang
benar yang kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siapa saja yang berkeinginan
untuk mengujinya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1.
Bagaimana Paradisma Penelitian ?
1.2.2. Bagaimana Kebenaran Memuat
Ilmu Pengetahuan?
1.3 Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui bagaimana
Paradisma Penelitian
1.3.2 Untuk mengetahui Bagaimana Kebenaran Memuat Ilmu Pengetahuan
1.4 Manfaat
1.4.1. Bagi mahasiswa sekaligus sebagai
calon guru, supaya bisa mengerti dengan baik
bagaimana cara melakukan penelitian yang benar sesuai dengan ketentuan supaya penelitian tersebut bisa membawa hasil
yang maksimal
1.4.2. Bagi penulis hendaknya dapat
lebih memahami tentang proses penelitian supaya kedepannya kita bisa mengerti
tentang proses penelitian tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PARADISMA
PENELITIAN DAN KEBENARAN
1.2.1. Paradisma (paradigma) penelitian
Menurut catatan Ari Fakhri istilah paradigma pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962) dan kemudian dipopulerkan oleh Robert
Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas
sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu
yang menghasilkan mode of knowing yang efektif.
Kemudian defenisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
Kemudian defenisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
Dalam buku yang berjudul “Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian Psikologi” menyatakan bahwa
paradigma adalah kumpulan tentang asumsi, konsep, atau proposisi yang secara
logis dipakai peneliti.
paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang
menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan
perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga
menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian
sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitia.
Secara umum,
paradigma penelitian diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu penelitian
kuantitatif dan penelitian kualitatif (Indiantoro & Supomo, 1999: 12-13).
Masing-masing paradigma atau pendekatan ini mempunyai kelebihan dan juga
kelemahan, sehingga untuk menentukan pendekatan atau paradigma yang akan
digunakan dalam melakukan penelitian tergantung pada beberapa hal di antaranya
:
1. jika ingin melakukan suatu
penelitian yang lebih rinci yang menekankan pada aspek detail yang kritis dan
menggunakan cara studi kasus, maka pendekatan yang sebaiknya dipakai adalah
paradigma kualitatif. Jika penelitian yang dilakukan untuk mendapat kesimpulan
umum dan hasil penelitian didasarkan pada pengujian secara empiris, maka
sebaiknya digunakan paradigma kuantitatif, dan
2. Jika penelitian ingin menjawab pertanyaan yang
penerapannya luas dengan obyek penelitian yang banyak, maka paradigma
kuantitaif yang lebih tepat, dan jika penelitian ingin menjawab pertanyaan yang
mendalam dan detail khusus untuk satu obyek penelitian saja, maka pendekatan
naturalis lebih baik digunakan. Hasil penelitian akan memberi kontribusi yang lebih
besar jika peneliti dapat menggabungkan kedua paradigma atau pendekatan
tersebut.
Penggabungan paradigma tersebut dikenal istilah triangulation. Penggabungan kedua pendekatan ini diharapkan dapat memberi nilai tambah atau sinergi tersendiri karena pada hakikatnya kedua paradigma mempunyai keunggulan-keunggulan.
Penggabungan paradigma tersebut dikenal istilah triangulation. Penggabungan kedua pendekatan ini diharapkan dapat memberi nilai tambah atau sinergi tersendiri karena pada hakikatnya kedua paradigma mempunyai keunggulan-keunggulan.
Sedangkan dalam tulisan Sambas Ali M., paradigma penelitian merupakan
kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap
fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori, yang
dikonstruksi sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
Mengacu pada definisi paradigma tersebut, terungkap bahwa paradigma ilmu itu amat beragam, hal ini
didasarkan pada pandangan dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing
ilmuwan berbeda-beda. Dimana, masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki
cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran
sendiri tentang kebenaran. Perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar
berpikir oleh para ilmuwan tersebut, kemudian berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut,
baik menyangkut tentang hakikat apa yang harus dipelajari, obyek yang diamati,
atau metode yang digunakan.
Perbedaan paradigma yang dianut para ilmuan ternyata tidak hanya berakibat
pada perbedaan skema konseptual penelitian, melainkan juga pada pendekatan yang melandasi semua
proses dan kegiatan penelitian.
Dalam
praktek penelitian
ilmiah, setidaknya terdapat dua pendekatan untuk menjawab permasalahan penelitian yang timbul
sebagai suatu fenomena yang harus dicari jawabannya, yaitu: penelitian kuantitatif dan
penelitian
kualitatif. Pendekatan kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma positivisme dari
August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis
dari Edmund Husserl (1859-1926).
Pendekatan kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun
berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang
menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Paradigma ini disebut juga
dengan paradigma
tradisional (traditional), eksperimental (experimental), atau
empiris (empiricist). Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge)
yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang
berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap
lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason).
Sementara
i penelitian dengan
pendekatan kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek
utama dalam peristiwa sosialatau budaya. Sifat humanis dari aliran pemikiran
ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama
perilaku individu dan gejala sosial. Pendekatan kualitatif lahir dari akar
filsafat aliran fenomenologi hingga terbentuk paradigma post positivisme.
Pendekatan
ini memandang bahwa realitas sosial yang tampak sebagai suatu fenomena dianggap
sesuatu yang ganda (jamak). Artinya realitas yang tampak memiliki makna ganda,
yang menyebabkan terjadinya realitas tadi. McMillan dan Schumacher (2001:396)
menyebut realitas sosial dalam penelitian kualitatif ini sebagai: “…reality as multilayer,
interactive, and a shared social experience interpreted by indviduals”.
Dengan demikian dalam penelitian kualitatif, realitas sosial yang terjadi atau tampak,
jawabannya tidak cukup dicari sampai apa yang menyebabkan realitas tadi, tetapi
dicari sampai kepada makna dibalik terjadinya realitas sosial yang tampak. Oleh
karena itu, untuk dapat memperoleh makna dari realitas sosial yang terjadi,
pada tahap pengumpulan data perlu dilakukan secara tatap muka langsung dengan
individu atau kelompok yang dipilih sebagai responden atau informan yang
dianggap mengetahui atau pahami tentang entitas tertentu seperti: kejadian,
orang, proses, atau objek, berdasarkan cara pandang, persepsi, dan sistem
keyakinan yang mereka miliki.
Paradigma
ibarat sebuah jendela tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan
wawasannya. Sebagian orang menyatakan paradigma (paradigm) sebagai
intelektual komitmen, yaitu suatu citra fundamental dari pokok permasalahan
dari suatu ilmu (Salim, 2006). Namun secara umum menurut Salim (2006) paradigma
dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang
menuntun sesorang dalam bertindak atau keyakinan dasar yang menuntun sesorang
dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ihalauw (1985) paradigma
menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan apa yang seharusnya
dikemukakan, dan kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban
yang diperoleh (Salim, 2006).
Paradigma
adalah basis kepercayaan utama dari sistem berpikir; basis dari ontologi,
epistemologi, dan metodologi. Dalam pandangan filosof, paradigma
merupakan pandangan awal yang membedakan, memperjelas dan mempertajam orientasi
berpikir seseorang. Hal ini membawa konsekuensi praktis terhadap prilaku, cara
berpikir, intepretasi dan kebijakan dalam pemilihan masalah. Paradigma memberi
representasi dasar yang sederhana dari informasi pandangan yang kompleks
sehingga orang dapat memilih untuk bersikap atau mengambil keputusan (Salim, 2001)
Menurut Maleong
(2004), ada berbagai macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan
adalah scientifik paradigm (paradigma ilmiah) dan naturalistic
paradigm (paradigma almiah). Paradigma imiah bersumber dari pandangan
positivisme (lazimnya disebut sebagai paradigma kuantitatif) sedangkan
pandangan alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis (lazimnya
disebut sebagai paradigma kualitatif).
Gambar 3. Paradigma dalan
Penelitian Ilmiah
Secara umum
pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian dapat
dikelompokan menjadi paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian
kualitatif. Dari segi peristilahan, para ahli nampak menggunakan istilah
atau penamaan yang berbeda-beda meskipun mengacu pada hal yang sama. Untuk itu
guna menghindari kekaburan dalam memahami kedua pendekatan ini, berikut akan
dikemukakan penamaan yang dipakai para ahli dalam penyebutan kedua
istilah tersebut lihat tabel berikut
Dalam beberapa referensi tentang paradigma penelitian, kita
dapat menjumpai beberapa nama yang dipergunakan para ahli tentang
metodologi penelitian kualitatif yaitu: grounded research, ethnometodologi,
paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik,
atau holistik. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan fokus dalam melihat
permasalahan serta latar belakang disiplin ilmunya. Istilah grounded
research lebih berkembang di lingkungan sosiologi dengan tokohnya
Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini diperkenalkan/dipopulerkan
oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas California yang pernah menjadi tenaga
ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Banda Aceh pada tahun
1970-an), ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan antropologi dan
ditunjang antara lain oleh Bogdan, interaksi simbolik lebih berpengaruh
di pantai barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer, Paradigma
naturalistik dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya memperoleh
pendidikan dalam fisika, matematika, dan penelitian kuantitatif.
Riwayat singkat
kedua paradigma tersebut adalah sebagai berikut (Bogdan & Taylor (1975);
Crewell (1994); Maleong (2004)
v Paradigma
Kuantitatif (Positivisme) berakar pada pandangan teoritis Auguste Comte
dan Emile Durkheim pada abad ke 19 dan awal abad ke 20. Para Positivisme
mencari fakta dan penyebab femomena sosial dan kurang mempertimbangkan keadaan
subjektifitas individu. Durkhiem menyarakan kepada ahli ilmu pengetahuan sosial
untuk mempertimbangkan fakta sosial atau fenomena sosial sebagai sesuatu yang
memberikan pengaruh dari luar atau memaksa pengaruh tertentu terhadap perilaku
manusia. Paradigma kuantitatif dinyatakan sebagai paradigma tradisional,
positivisme, eksperimental, atau empiris.
v Paradigma Kualitatif (alamiah/fenomenologis)
bersumber dari pandangan Max Weber yang diteruskan oleh Irwin Deutcher.
Pendekatan ini berawal dari tindakan balasan terhadap tradisi positivisme.
Pendekatan fenomenologis berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka
berpikir maupun bertindak orang itu sendiri. Bagi mereka yang penting ialah
kenyataan yang terjadi sebagai yang dibayangkan atau dipikirkan oleh orang itu
sendiri. Paradigma kualitatif menyatakan pendekatan konstruktif atau
naturalistis (Lincoln & Guba), pendekatan interpretatif (J. Smith) atau
sudut pandang postpositivist (postmodern)
Masing-masing paradigma tersebut
mempunyai seperangkat asumsi yang berbeda (Firestone, 1987; Guba & Linclon,
1988; McCrakeb, 1988). Hal ini penting untuk diketahui karena akan memberikan
arah untuk merancang (mendesain) penelitian.
Kedua paradigma pendekatan penelitian tersebut nampak sekali
mempunyai asumsi/aksioma dasar filosofis dan paradigma berbeda yang
menurut Lincoln & Guba (1985) perbedaan tersebut terletak dalam asumsi/aksioma
tentang kenyataan, hubungan pencari tahu dengan tahu (yang diketahui),
generalisasi, kausalitas, dan masalah nilai. Menurut Lincoln & Guba
pandangan positivisme dari sudut ontologi meyakini bahwa realitas
merupakan suatu yang tunggal dan dapat dipecah-pecah untuk
dipelajari/dipahami secara bebas, obyek yang diteliti bisa dieliminasikan dari
obyek-obyek lainnya, sedangkan dalam pandangan fenomenologi kenyataan itu
merupakan suatu yang utuh, oleh karena itu obyek harus dilihat dalam suatu konteks
natural tidak dalam bentuk yang terfragmentasi.
Dari sudut epistemologi, positivisme mensyaratkan adanya
dualisme antara subyek peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan ini
dimaksudkan agar dapat diperoleh hasil yang obyektif. Sementara itu
dalam pandangan Fenomenologis subyek dan obyek tidak dapat dipisahkan dan aktif
bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut aksiologi, positivisme
mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai agar dicapai obyektivitas konsep
dan hukum sehingga tingkat keberlakuannya bebas tempat dan waktu. Sedangkan
dalam pandangan fenomenologi penelitian itu terikat oleh nilai sehinggan hasil
suatu penelitian harus dilihat sesuai konteks.
Masalah paradigma kuantitatif dan kualitatif hingga dewasa
ini masih terjadi perdebatan, meskipun banyak ahli pada bidang tertentu
memandang hal ini bukan masalah yang bersifat dikotomis melainkan suatu
kontinum. Sekelompok ahli memandang bahwa paradigma (metode)
manapun yang akan digunakan sebenarnya sangat tergantung pada masalahnya. Bila
masalah itu memerlukan jawaban kualitatif maka paradigma yang harus dipilih
adalah kualitatif. Sementara jika masalah itu bersifat kuantitatif maka
paradigma yang dipilih adalah harus kuantitatif. Sementara sekelompok ahli
mengatakan bahwa kedua paradigma tersebut saling menunjang, dengan suatu
harapan bahwa dengan cara begitulah penelitian akan dapat menyajikan hasil yang
mantap dan jitu.
Menurut
Creswell, untuk menggunakan kedua paradigma secara baik dan akurat dibutuhkan
lebih banyak halaman yang dapat ditelorir editor jurnal. Hal ini dapat
menyebabkan disertasi melewati batas normal ukuran dan skala. Menggunakan kedua
paradigma dalam satu penelitian akan mahal, memakan waktu dan panjang. Oleh
karena itu peneliti harus memilih paradigma kualitatif atau kuantitatif dalam
suatu penelitian (paradigma tunggal). Memilih salah satu paradigma penelitian
(paradigma tunggal) bukan berarti paradigma lainnya dianggap tidak baik.
Tidak ada satu paradigma yang sanggup mengungguli paradigma lainnya, mengingat
pilihan paradigma merupakan cara pandang seseorang (peneliti) terhadap suatu
realitas yang tergantung pada keadaan tertentu. Misalnya dalam bidang ilmu
eksak, biasanya paradigma kuantitatif (postivisme) yang banyak digunakan,
sedangkan dibidang sosial, paradigma kualitatif (fenomenologis) yang mendapat
tempat yang mapan. Masalahnya adalah bagaimana peneliti harus memilih salah satu
paradigma dalam penelitiaN
1.3.2 Kebenaran Memuat Ilmu Pengetahuan
Dalam
pembahasan mengenai ilmu pengetahuan bahwa secara
sederhana bahwa segala sesuatu yang diketahui oleh manusia melaui suatu proses
baik sistematis atau tidak, menggunakan metode yang disepakati atau tidak maka
dapat dikelompokkan sebagai sebuah pengetahuan biasa dan pengetahuan Ilmiah,
yang terkait dengan objek dari suatu pengetahuan. Jadi pengetahuan dan
kebenaran adalah merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat dipisahkan.
Pada
hakikatnya kebenaran itu terdiri dari dua macam, yaitu kebenaran ilmiah dan
kebenaran non ilmiah. Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang diperoleh secara
mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Lalu,
kebenaran non ilmiah adalah kebalikan dari kebenaran ilmiah, yang mana pada
kebenaran non ilmiah ini lebih mengacu pada kebenaran karena kebetulan,
kebenaran karena akal sehat, kebenaran agama dan wahyu, kebenaran intuitif,
kebenaran karena trial dan error, kebenaran spekulasi, dan kebenaran karena kewibawaan.
Lalu, ilmu pengetahuan adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan
pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang-orang yang dipadukan secara
harmonis dalam suatu bangunan yang teratur.
Berkaitan
dengan pembahasan tentang pengetahuan dan kebenaran yang dihubungkan dengan hakikat
ilmu pengetahuan, terdapat dua teori yang digunakan untuk
mengetahuinya yaitu:
1.
Teori Realisme, teori ini mempunyai pandangan realistis
terhadap alam. Menurut teori Realisme yang dimaksudkan dengan pengetahuan adalah
gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Gambaran
sebenarnya inilah yang memuat kebenaran. Artinya bahwa jika pandangan terhadap
alam itu tidak sesuai dengan realitas yang ada (terdapat penyimpangan) atau
tidak benar, maka apapun yang dihasilkannya bukan sebuah kebenaran dan bukan
sebuah pengetahuan. Dengan demikian ukuran kebenaran pengetahuan itu didasarkan
pada kesesuaian realitas yang diperolehnya dengan informasi yang disampaikannya
atau disimpulkan. Jika informasi tersebut memuat kebenaran, maka kebenaran yang
disampiakan itulah yang disebut pengetahuan yang benar, dan jika informasi yang
disampaikannya salah maka itulah yang dikategorikan pengetahuan salah.
2.
Teori Idealisme, teori ini menerangkan bahwa pengetahuan
adalah proses-proses mental/ psikologis yang bersifat subjektif. Sifat dari
pandangan idealisme ini lebih menitik beratkan pada pengumpulan data yang
bersifat subjektif yang dirumuskan dalam bentuk kesimpulan. Ukuran kebenaran
yang digunakan di dasarkan pada subjektifitas seseorang. Sehingga sesuatu obyek
dianggap sebagai Pengetahuan tak lebih dari sebuah gambaran subjektif tentang
sesuatu yang ada dalam alam yang di dasarkan pada pendapat atau penglihatan
orang yang mengalami dan mengetahuinya. Berarti bahwa pengetahuan dan kebenaran
dalam konteks ini sangat bersifat subjektif di mana premis pokok yang dijadikan
landasan adalah jiwa dimana kedudukan jiwa menjadi sangat utama untuk
merumuskan kesimpulan atau kebenaran dari alam semesta.
Berdasarkan
analisis terhadap pengetahuan dan kebenaran ini, maka rumusan pengetahuan
hubungan yang mencakup seluruh hal yang diketahui manusia. Pengetahuan adalah
kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan
intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya
untuk mencapai suatu tujuan. Bagaimana rumusan tujuan pengetahuan tersebut akan
dibahas pada tujuan manusia mempunyai pengetahuan.
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Paradigma ibarat sebuah jendela tempat orang bertolak
menjelajahi dunia dengan wawasannya. Sebagian orang menyatakan paradigma
sebagai intelektual komitmen, yaitu suatu citra fundamental dari pokok
permasalahan dari suatu ilmu. Dengan mengetahui pradigma secara baik kita dapat
melakukan penelitian secra maksimal
Pada
hakikatnya kebenaran itu terdiri dari dua macam, yaitu kebenaran ilmiah dan
kebenaran non ilmiah. Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang diperoleh secara
mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Lalu,
kebenaran non ilmiah adalah kebalikan dari kebenaran ilmiah, yang mana pada
kebenaran non ilmiah ini lebih mengacu pada kebenaran karena kebetulan,
kebenaran karena akal sehat, kebenaran agama dan wahyu, kebenaran intuitif,
kebenaran karena trial dan error, kebenaran spekulasi, dan kebenaran karena
kewibawaan. Lalu, ilmu pengetahuan adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman
dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang-orang yang dipadukan secara
harmonis dalam suatu bangunan yang teratur.
Pada
dasaranya penelitian tersebut haruslah didasari pada kebenaran bukan pada
kebohongan. Penelitian didasarkan pada kebenaran akan menciptakan hasil
penelitian yang maksimal seuai dengan yang kita harapkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar